Mengenai Saya 089661217321

advertisement

Powered by Blogger.
Home » » HAK TRADISI RUWATAN DALAM HUKUM DAN NILAI SOSIAL BUDAYA

HAK TRADISI RUWATAN DALAM HUKUM DAN NILAI SOSIAL BUDAYA



Tradisi jawa merupakan salah satu tradisi yang masih exis di Indonesia hingga masa sekarang. Di dalam masyarakat jawa, adat istiadat yang kini masih diyakini, dilestarikan, dipertahankan dan dikembangkan serta dipercaya mempunyai pengaruh besar terhadap pola kehidupan bagi masyarakat yang menganutnya. Salah satu tradisi yang masih di lakukan oleh masyarakat Desa Buntet Kecamatan Astanajapura Kabupaten Cirebon adalah Ruwatan. Ruwatan dalam bahasa Jawa Kuno, ruwat berarti lebur (melebur) atau membuang, ruwatan adalah salah satu cara untuk melepaskan diri dari dominasi energi negatif yang dalam bahasa Jawa kuno disebut Sengkala dan Sukerta.
Namun uniknya, tradisi ini hingga sekarang masih mengundang permasalahan dan tak jarang menimbulkan pertentangan antara kalangan Islam dengan masyarakat jawa pada umumnya. Dari kalangan Islam sendiri meyakini tradisi ini terkesan sarat dengan aura kemusyrikan lantaran terdapat beberapa amalan yang sangat bertentangan dengan aqidah Islam, sehingga dengan mudah memvonis bahwa tradisi ini adalah suatu yang baru dan diada-adakan yang tidak boleh dilakukan oleh umat Islam.[1] Maka dari itu, di benak kita seakan-akan timbul tanda tanya besar tentang tradisi ruwatan ini. Atas permasalahan yang timbul tersebut, maka sangat tidak arif kiranya apabila kita menilai tradisi ruwatan hanya dari satu perspektif saja, hanya mencari kelemahan tanpa mencari segi positif, begitu pula sebaliknya. Walaupun di kalangan umat Islam sangat menentang tradisi ini, tetapi sangat disayangkan dan terkesan agama Islam kurang memiliki toleransi apabila langsung menyimpulkan tradisi ini penuh kesyirikan dan melarang serta meninggalkannya.
 
A.    PENGERTIAN RUWATAN
Ruwatan diambil dari kata “ruwat” yang berarti merawat dan menjaga. Secara umum, ruwat diartikan sebagai usaha untuk mengembalikan kepada keadaan yang lebih baik dengan melakukan ritual pembuang sengkolo (kesialan). Membuang kesialan disini bisa berupa kesialan diri (pribadi), lingkungan, atau masyarakat. Adapun ritualnya bisa dengan mengadakan acara pagelaran pewayangan atau proses ritual untuk membuka aura diri. Ruwatan terbagi menjadi 3 bagian, pertama ruwatan untuk kebersihan dan selamatan Desa, kedua ruwatan untuk membersihkan jiwa seseorang serta membuang kesialan hidup, ketiga ruwatan dalam membangun rumah agar terhindar dari hal yang tidak diinginkan. Dalam hal ini, Desa buntet Cirebon hanya melaksanakan ruwatan yang berfungsi untuk memberihkan jiwa dari sifat-sifat kotor karena gangguan mahluk-mahluk halus.


     B.  RUATAN DILIHAT DARI HUKUM DAN NILAI-NILAI SOSIAL BUDAYA
Ruwatan merupakan salah satu tradisi yang mewarnai kekayaan kebudayaan Nasional yang diwariskan oleh para leluhur terdahulu. Didalam tradisi ruwatan ada sebuah sistem hukum adat yang bersifat tidak tertulis dan mempunyai nilai-nilai sosial budaya masyarakat. Menurut Lili Rasjidi dalam Pengantar Filsafat Hukum, Nilai-nilai sosial budaya masyarakat itu ternyata bahwa hukum yang baik adalah hukum yang mencerminkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat[1]. Ruwatan diwujudkan dalam upacara tradisi pada hakikatnya adalah mengejawantahan dari tata kehidupan masyarakat yang selalu ingin hati-hati, dalam setiap tutur kata, sikap, dan tingkah-lakunya mendapatkan keselamatan,  kebahagiaan dan kesejahtraan baik jasmani dan rokhaniah.
Kemudian dalam ruwatan dilakukan pagelaran wayang, wayang merupakan intisari kebudayaan masyarakat jawa yang dijadikan tuntunan bagaimana manusia harus bertingkah laku dalam kehidupannya dan bagaimana menyadari hakikatnya sebagai manusia sebagai manusia serta bagaimana dapat berhubungan dengan sang penciptanya.
            C.   RUWATAN DAN HAM
Setelah mengetahui bagaimana ruwatan dilihat dari nilai-nilai sosial budaya, yang mana ruwatan mengandung nilai-nilai kehidupan seperti berhati-hati dalam tutur kata, sikap dan tingkah laku manusia, maka manusia perlu mendapatkan pembelajaran entah dari manapun sumbernya. Selain itu, manusia juga mempunyai hak untuk berbudaya, hal ini sesuai dengan Undang-Undang tentang  Pengaturan cagar budaya yang dapat ditarik dasar hukumnnya pada Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengamanatkan bahwa: “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya
Berdasarkan Undang-Undang Dasar ini, dirumuskan bahwa pemerintah Indonesia berkewajiban “melaksanakan kebijakan memaju-kan kebudayaan secara utuh untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Rumusan ini mejadi pedoman dalam menyusun fasal-fasal berisi perintah, larangan, anjuran, pengaturan, dan hukuman yang menguntungkan masyarakat. Isu tentang adaptive reuse, good governance, desentraliasi kewenangan, atau hak-hak publik selalu mewarnai kalimat dan susunan pasal Undang-Undang Cagar Budaya.
Dapat kita lihat dari hal diatas bahwa negara Indonesia yang memiliki sosial dan budaya yang sangat luar biasa yang menerapkan nilai sosial yang tinggi dan bermacam-macam budaya tidak memiliki peraturan yang mempertahankan nilai sosial dan budayanya. Dalam hak asasi sosial dan budaya, manusia diberikan kebebasan untuk mengekspresikan dirinya untuk bertingkah laku di masyarakat dan berbudaya. Kebebasan tersebut terkadang diatur di dalam norma-norma kehidupan manusia. Aturan norma-norma tersebut berbeda di setiap suku, budaya, dan daerah manusia tinggal. Misalnya saja norma adat yang ada di Indonesia yang harus sopan dan ramah, berbeda dengan norma adat yang ada di negara Amerika yang cendrung erotis.





[1] Ibid hal 77

[1] Liliweri, Allo. Makna Budaya Dalam Komunikasi Antar Budaya. (Yogyakarta. 2003) LKIS  hal. 15

0 comments:

Post a Comment