Tradisi jawa merupakan salah satu tradisi yang masih exis di
Indonesia hingga masa sekarang. Di dalam masyarakat jawa, adat istiadat yang
kini masih diyakini, dilestarikan, dipertahankan dan dikembangkan serta
dipercaya mempunyai pengaruh besar terhadap pola kehidupan bagi masyarakat yang
menganutnya. Salah satu tradisi yang
masih di lakukan oleh masyarakat Desa Buntet Kecamatan Astanajapura Kabupaten
Cirebon adalah Ruwatan. Ruwatan dalam bahasa Jawa Kuno,
ruwat berarti lebur (melebur) atau membuang, ruwatan adalah salah satu cara
untuk melepaskan diri dari dominasi energi negatif yang dalam bahasa Jawa kuno
disebut Sengkala dan Sukerta.
Namun uniknya, tradisi ini hingga sekarang masih mengundang
permasalahan dan tak jarang menimbulkan pertentangan antara kalangan Islam
dengan masyarakat jawa pada umumnya. Dari kalangan Islam sendiri meyakini
tradisi ini terkesan sarat dengan aura kemusyrikan lantaran terdapat beberapa
amalan yang sangat bertentangan dengan aqidah Islam, sehingga dengan mudah
memvonis bahwa tradisi ini adalah suatu yang baru dan diada-adakan yang tidak
boleh dilakukan oleh umat Islam.[1]
Maka dari itu, di benak kita seakan-akan timbul tanda tanya besar tentang
tradisi ruwatan ini. Atas permasalahan yang timbul tersebut, maka sangat tidak arif
kiranya apabila kita menilai tradisi ruwatan hanya dari satu perspektif saja,
hanya mencari kelemahan tanpa mencari segi positif, begitu pula sebaliknya.
Walaupun di kalangan umat Islam sangat menentang tradisi ini, tetapi sangat
disayangkan dan terkesan agama Islam kurang memiliki toleransi apabila langsung
menyimpulkan tradisi ini penuh kesyirikan dan melarang serta meninggalkannya.
A.
PENGERTIAN
RUWATAN
Ruwatan diambil dari kata “ruwat”
yang berarti merawat dan menjaga. Secara umum, ruwat diartikan sebagai usaha
untuk mengembalikan kepada keadaan yang lebih baik dengan melakukan ritual
pembuang sengkolo (kesialan). Membuang kesialan disini bisa berupa
kesialan diri (pribadi), lingkungan, atau masyarakat. Adapun ritualnya bisa
dengan mengadakan acara pagelaran pewayangan atau proses ritual untuk membuka
aura diri. Ruwatan terbagi menjadi 3
bagian, pertama ruwatan untuk kebersihan dan selamatan Desa, kedua ruwatan
untuk membersihkan jiwa seseorang serta membuang kesialan hidup, ketiga ruwatan
dalam membangun rumah agar terhindar dari hal yang tidak diinginkan. Dalam hal
ini, Desa buntet Cirebon hanya melaksanakan ruwatan yang berfungsi untuk
memberihkan jiwa dari sifat-sifat kotor karena gangguan mahluk-mahluk halus.
B. RUATAN
DILIHAT DARI HUKUM DAN NILAI-NILAI SOSIAL BUDAYA
Ruwatan merupakan salah satu tradisi yang mewarnai
kekayaan kebudayaan Nasional yang diwariskan oleh para leluhur terdahulu.
Didalam tradisi ruwatan ada sebuah sistem hukum adat yang bersifat tidak
tertulis dan mempunyai nilai-nilai sosial budaya masyarakat. Menurut Lili
Rasjidi dalam Pengantar Filsafat Hukum, Nilai-nilai sosial budaya masyarakat
itu ternyata bahwa hukum yang baik adalah hukum yang mencerminkan nilai-nilai
yang hidup dalam masyarakat[1]. Ruwatan
diwujudkan dalam upacara tradisi pada hakikatnya adalah mengejawantahan dari
tata kehidupan masyarakat yang selalu ingin hati-hati, dalam setiap tutur kata,
sikap, dan tingkah-lakunya mendapatkan keselamatan, kebahagiaan dan kesejahtraan baik jasmani dan
rokhaniah.
Kemudian dalam ruwatan dilakukan pagelaran wayang, wayang
merupakan intisari kebudayaan masyarakat jawa yang dijadikan tuntunan bagaimana
manusia harus bertingkah laku dalam kehidupannya dan bagaimana menyadari
hakikatnya sebagai manusia sebagai manusia serta bagaimana dapat berhubungan
dengan sang penciptanya.
C. RUWATAN
DAN HAM
Setelah mengetahui bagaimana ruwatan dilihat dari
nilai-nilai sosial budaya, yang mana ruwatan mengandung nilai-nilai kehidupan
seperti berhati-hati dalam tutur kata, sikap dan tingkah laku manusia, maka
manusia perlu mendapatkan pembelajaran entah dari manapun sumbernya. Selain
itu, manusia juga mempunyai hak untuk berbudaya, hal ini sesuai dengan
Undang-Undang tentang Pengaturan cagar budaya
yang dapat ditarik dasar hukumnnya pada Pasal 32 ayat
(1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengamanatkan
bahwa: “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban
dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan
nilai-nilai budayanya”
Berdasarkan Undang-Undang Dasar ini, dirumuskan bahwa pemerintah
Indonesia berkewajiban “melaksanakan kebijakan memaju-kan kebudayaan secara
utuh untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Rumusan ini mejadi pedoman
dalam menyusun fasal-fasal berisi perintah, larangan, anjuran, pengaturan, dan
hukuman yang menguntungkan masyarakat. Isu tentang adaptive reuse, good
governance, desentraliasi kewenangan, atau hak-hak publik selalu mewarnai
kalimat dan susunan pasal Undang-Undang Cagar Budaya.
Dapat kita lihat dari hal diatas bahwa negara Indonesia yang
memiliki sosial dan budaya yang sangat luar biasa yang menerapkan nilai sosial
yang tinggi dan bermacam-macam budaya tidak memiliki peraturan yang
mempertahankan nilai sosial dan budayanya. Dalam
hak asasi sosial dan budaya, manusia diberikan kebebasan untuk mengekspresikan
dirinya untuk bertingkah laku di masyarakat dan berbudaya. Kebebasan tersebut
terkadang diatur di dalam norma-norma kehidupan manusia. Aturan norma-norma
tersebut berbeda di setiap suku, budaya, dan daerah manusia tinggal. Misalnya
saja norma adat yang ada di Indonesia yang harus sopan dan ramah, berbeda
dengan norma adat yang ada di negara Amerika yang cendrung erotis.
0 comments: