Profil Habermas.
Jurgen
Habermas adalah seorang anggota paling terkenal dari generasi kedua madzhab
frankrut dibidang penelitian sosial. Ia lahir pada tahun 1929 di Dusseldrof,
Jerman. Sebagaimana anggota lainnya dalam madzhab franfurt, Habermas sangat dipengaruhi karya Hegel dan
Marx. Meskipun demikian,tidak seperti Adorno dan Horkheimer, Habermas menolak
teori Marx tentang teori seperti juga pesimisme kultural yang ada pada generasi
pertama madzhab Frankfurt.[1]
Salah satu ciri dari madzhab franfurt adalah sebagai madzhab kritis yang
mencoba menelusuri tabir hegemoni kehidupan. Oleh karena itu, Habermas
mengupayakan kritik terhadap realitas sosial dengan metode penafsiran
(hermeneutik) dengan menggali makna bahasa dengan metode komunikatif.
Hubungan
Habermas dengan generasi pertama madzhab Frankfurt adalah bahwa Habermas lebih
berorientasi pada kajian bahasa sebagai pendekatan kritis. Sehingga Habermas
mampu berkomunikasi terhadap budaya sosial. Pada prinsipnya madzhab frankfurt
adalah sebuah gerakan neo marxis. Ia merupakan bentuk kelanjutan dari filsafat
marxis. Teori kritis sendiri tak bisa lepas dari teori konflik yang telah
diintridusir oleh Marx. Begitu juga dengan Habermas. Selain Marx Habermas juga
terpengaruh oleh dialektikanya hegel. Dialektika bagi Habermas, merupakan
sesuatu yang dianggap benar apabila dilihat dari totalitas hubungannya.
Hubungan ini disebut negasi. Artinya hanya melalui negasilah kita bisa
menemukan keutuhan dan keseluruhan. Dalam dialektika, apapun yang ada dianggap
sebagai kesatuan dari yang berlawanan. Negasi ini ditangan Habermas
ditransformasikan menjadi filsafat kritis.
Jurgen
Habermas dengan Teori Kritisnya menawarkan pemahaman baru yang dikembangkan
lewat masyarakat kritis emansipatoris. Semua pemikiran-pemikirannya sangat
terlihat mengerucut pada keinginannya untuk menempatkan modernitas sebagai
realitas empiris yang harusnya dapat memberdayakan kehidupan masyarakat, dan
bukan sebaliknya. Habermas merumuskan teori itu sebagai dasar epistemologisnya
dengan menyatakan bahwa ilmu pengetahuan sangat berhubungan dengan kepentingan
kognitif, sehingga posisi ilmu pengetahuan tidak pernah bebas nilai, ilmu
pengetahuan akan sangat dipengaruhi oleh sosial politik (ideologi), kekuasaan,
dan kepentingan, termasuk juga oleh kelompok teori kritis yang didorong oleh
kepentingan emansipatoris.
Hermeneutik Habermas
Untuk memahami
pemikiran Jürgen Habermas terlebih dahulu harus dipahami latar belakang yang
mempengaruhi teori-teori pemikirannya. Bisa dipastikan bahwa Habermas sangat
dipengaruhi oleh warisan intelektual Mazhab Frankfurt yang terkenal dengan
Teori Kritisnya, sejak tahun 30-an Habermas sudah tertarik dan mengkaji gaya
karya-karya Hokheimer dan Adorno. Ternyata dikemudian hari teori Mazhab
Frankfrut ini tidak saja menentukan gaya pikir dan isi teori-teorinya namun
lebih jauh Habermas juga melakukan semacam pembaharuan atas kelemahan teori
kritis itu terutama dengan melihat pesimisnya pendahulunya dalam memandang dunia
modern. Hermeneutika
Habermas dapat disebut sebagai hermeneutika kritis. Kekritisannyanya juga dapat digambarkan dari metodenya yang
dibangun dari sebuah ‘klaim’ bahwa setiap bentuk penafsiran dipastikan ada bias
dan unsur-unsur kepentingan politik, ekonomi, sosial termasuk bias strata
kelas, suku dan gender. Dengan menggunakan metode ini maka konsekuensinya kita
harus curiga dan waspada terhadap
bentuk tafsir atau pengetahuan atau jargon yang dipakai dalam sains dan agama.
Menurut yang saya kutip dari buku karya Husain Adian, Ada
kesamaan pola umum yang dikenal sebagai pola hubungan segitiga dalam
penafsiran, antara teks, si pembuat teks, dan si pembaca. Dalam haermanautika,
seorang penafsir dalam memahami teks dituntut untuk tidak sekedar memahami apa
yang ada dalam sebuah teks, tetapi lebih kepada apa yang ada di balik teks.[2]Hermeneutika
selalu berada dalam konteks komunikasi dimana suatu subjek menyampaikan gagasan
dan subjek lain menafsirkan. Maka ini bukan lah sekedar pernyataan tentang
fakta, sebab si penyampai menawarkan makna tertentu dan memberi arah tertentu
pula bagi penafsirnya.
Habermas menyatakan bahwa pemahaman harus dibedakan dengan
penjelas, penjelasan adalah penerapan secara obyektif suatu hukum atau teori terhadap
fakta, sedangkan pemahaman adalah menjadi bagian dari subyaktifnya. Sedamgkan
pemahaman hermeneutika adalah pemahan yang diarahkan kepada konteks
makna.Penjelasan bersifat monologis, sedangkan pemahaman bersifat dialogis.
Karena pemahaman bersifat dialogis, maka jika diletakkan dalam teori tindakan
diatas pemahaman bekerja pada tingkat tindakan komunikatif. Dengan kata lain,
pada saat penafsiran atau pembaca membuat analisis haruslah ada proses kerja
sama di mana penulis atau pengarang teks atau semua yang terlibat dalam
komunikasi harus saling menghubungkan diri antara satu dengan yang lainnya
secara sereentak didunia kehidupan.
Habermas memilih bahasa sebagai
paradigma kritik sosial karena kekayaan makna dan nuansa bahasa yang bisa
mencakup berbagai dimensi kehidupan dan perjuangan masyarakat postmodern.
Dengan kata lain bahasa mengandung makna dan nuansa untuk didayagunakan untuk
berkomunikasi jauh lebih komprehensif dan lebih cocok untuk paradigma teori
kritis. Menurut yang
saya kutip dalam buku “Manusia, teka-teki yang mencari solusi” karya Setyo
Wibowo mengatakan bahwa dalam bahasa terdapat ideal-ide yang
harus digali misalnya demokrasi delibratif, diskursus rasional dan
argumentatif, yang semuanya itu senada dengan spirit masyarakat postmodernis
dan keinginan transformasi sosial yang lebih emansipatoris dalam masyarakat
yang multi kultural.[3] Habermas berbicara tentang bahasa
sebagai sarana integrasi sosial antara berbagai subjek komunikasi dan sarana
sosialisasi kebutuhan dan kepentingan yang melatar belakangi komunikasi itu.
Bagi habermas bahasa pada hakikiatnya memaang manifestasi kebutuhan-kebutuhan
sosial. Kkebutuhan dan kepentingan sosial lah yang sebenarnya menentukan
struktur makna bahasa.[4]
Menurut Habermas, interaksi antar
manusia dapat dimediasikan secara simbolis lewat bahasa dan gesture tubuh yang
ekspresif (mengandung makna) , sedangkan hakekat bahasa adalah komunikasi, dan
komunikasi hanya mungkin dilakukan dalam keadaan saling bebas, karena tujuan
komunikasi adalah menjalin saling pengertian, oleh karena itu rasionalitas
dalam bahasa harus menjadi pusat perhatian. Komunikasi dalam bahasa akan
berhasil jika memenuhi empat norma atau klaim yaitu: Pertama, Jelas, artinya orang dapat
mengungkapkan dengan tepat apa yang dimaksud.Kedua, Ia harus benar, artinya
mengungkapkan apa yang mau diungkapkan. Ketiga, Ia harus jujur, jadi tidak boleh bohong. Keempat, Ia harus betul, sesuai
dengan norma-norma yang diandaikan bersama.
Dalam
mencapai saling pengertian dalam komunikasi syarat yang harus dipenuhi adalah:
inevitably / keinginan untuk melakukan pembicaraan bersama, dan adanya saling
ketertarikan dalam melakukan komunikasi itu, sehingga persetujuan/pengertian
itu dapat mencapai hasil maksimal.
Dapat dikatakan bahwa Secara singkat Habermas ingin
menawarkan sebuah masyarakat tanpa dominasi, paksaan dan bebas penguasaan.
Dengan apa? Dengan komunikasi. Yaitu “komunikasi bebas penguasaan”. Suatu
komunikasi yang tidak terdistorsi secara ideologis.
[1] Lechte, Jhon. 50 Filsuf
Kontemporer Dari Strukturalisme Sampai Postmodernitas. Yogyakarta 2001.
Penerbit kansius hlm. 284
[2] Husaini Adian, Abdurrahman
Al-Baghdadi. Hermeneutika Dan Tafsir Al-Qur’an. Gema Insani. Hlm 31
[3] Wibowo. A Setyo. Manusia Teka-Teki
Yang Mencari Solusi. Yogyakarta. 2009. Penerbit kansius. Hlm 60
[4] Sugiharto, Bambang. Postmodernisme
Tantangan Bagi Filsafat. Yogyakarta 1996. Penerbit kanisus. Hlm 30
0 comments: