Syekh Siti Jenar yang memiliki nama
asli Raden Abdul Jalil (juga
dikenal dengan nama Sunan Jepara,
Sitibrit, Syekh Lemahbang, dan Syekh Lemah Abang) adalah seorang
tokoh yang dianggap sebagai sufi dan salah seorang penyebar agama Islam di Pulau Jawa,
khususnya di Kabupaten Jepara.[1]
Asal-usul Syekh Siti Jenar tidak diketahui dengan pasti karena ada banyak versi
yang simpang-siur mengenai dirinya.[1]
Demikian pula dengan berbagai versi lokasi makam tempat ia disemayamkan untuk
terakhir kalinya.
Syekh Siti
Jenar dikenal karena ajarannya, yaitu Manunggaling
Kawula Gusti. Ajaran tersebut membuat dirinya dianggap sesat oleh
sebagian umat Islam,
sementara yang lain menganggapnya sebagai seorang intelek yang telah memperoleh
esensi Islam. Ajaran-ajarannya tertuang dalam karya sastra buatannya sendiri
yang disebut Pupuh, yang berisi
tentang budi pekerti.
Syekh Siti
Jenar mengembangkan ajaran cara hidup sufi yang dinilai bertentangan dengan
ajaran Walisongo.
Pertentangan praktik sufi Syekh Siti Jenar dengan Walisongo terletak pada
penekanan aspek formal ketentuan syariah yang dilakukan oleh Walisongo.
Masa muda Syeh
Siti Jenar dialaminya di Cirebon, karena beliau dilahirkan di daerah itu.
Ketika masa remajanya berlalu, maka ia pun mengembara mencari pemahaman ilmu
agama hingga ke Demak. Pada saat itu, keraton Demak Bintoro dipimpin oleh
rajanya yang bernaama Pati Unus. Sueh Siti Jenar berjumpa para wali yang
mengajari ilmu agama kepadanya, yang kemudian memberikan kesempatan kepadanya
untuk mengajarkan apa yang dipahaminya itu kepada santri-santri muda di Demak.
Wali-wali yang menjadi guru Syeh Siti Jenar itu adalah Syeh Maulana Maghribi
dan Syeh Maulan Malik Ibrahim (Sunan Gresik). Dalam perjalanan meniti ilmu
agama itu, beliaupun bertemu dengan Sunan Bonang, namun hanya sebentar saja.
Pergaulannya
Syeh Siti Jenar di Demak termasuk sangat luas. Ia akrab dengan para wali, para
petinggi pemerintahan Demak (bahkan rajanya sendiri sangat akrab dengan
beliau), juga para pedagang yang berasal dari negeri semenanjung Arab, seperti
Persia, Yaman, juga para pedagang Gujarat, dan sebagainya. Pergaulan yang luas
ini semakin meningkatkan pengetahuannya karena banyaknya informasi yang dicerap
dari pergaulannya itu. Informasi yang sangat menarik perhatiannya adalah
ceritera tentang kearifan sufistik dan juga kelebihan-kelebihan atau
karomah-karomah yang berkaitan dengan para sufi. Ketertarikannya itu membawanya
menyeberang hingga ke Bagdad, melalui Demak.
Syeh Siti Jenar (Lemah Abang) dalam Mengenal Tuhan
Ajaran Siti Jenar memahami Tuhan
sebagai ruh yang tertinggi, ruh maulana yang utama, yang mulia yang sakti, yang
suci tanpa kekurangan. Itulah Hyang Widhi, ruh maulana yang tinggi dan suci
menjelma menjadi diri manusia. Hyang Widhi itu di mana-mana, tidak di langit,
tidak di bumi, tidak di utara atau selatan. Manusia tidak akan menemukan
biarpun keliling dunia. Ruh maulana ada dalam diri manusia karena ruh manusia
sebagai penjelmaan ruh maulana, sebagaimana dirinya yang sama-sama menggunakan
hidup ini dengan indera, jasad yang akan kembali pada asalnya, busuk, kotor,
hancur, tanah. Jika manusia itu mati ruhnya kembali bersatu ke asalnya, yaitu
ruh maulana yang bebas dari segala penderitaan. Lebih lanjut Siti Jenar
mengungkapkan sifat-sifat hakikat ruh manusia adalah ruh diri manusia yang
tidak berubah, tidak berawal, tidak berakhir, tidak bermula, ruh tidak lupa dan
tidak tidur, yang tidak terikat dengan rangsangan indera yang meliputi jasad
manusia.
Syeh Siti Jenar mengaku bahwa, “aku adalah Allah, Allah adalah aku”. Lihatlah, Allah ada dalam diriku, aku ada
dalam diri Allah. Pengakuan Siti Jenar bukan bermaksud mengaku-aku
dirinya sebagai Tuhan Allah Sang Pencipta ajali abadi, melainkan kesadarannya
tetap teguh sebagai makhluk yang diciptakan Tuhan. Siti Jenar merasa bahwa
dirinya bersatu dengan “ruh” Tuhan. Memang ada persamaan antara ruh manusia
dengan “ruh” Tuhan atau Zat. Keduanya bersatu di dalam diri manusia. Persatuan
antara ruh Tuhan dengan ruh manusia terbatas pada persatuan manusia denganNya.
Persatuannya merupakan persatuan Zat sifat, ruh bersatu dengan Zat sifat Tuhan
dalam gelombang energi dan frekuensi yang sama. Inilah prinsip kemanunggalan
dalam ajaran tentang manunggaling
kawula Gusti atau jumbuhing
kawula Gusti. Bersatunya dua menjadi satu, atau dwi tunggal. Diumpamakan wiji wonten salebeting wit.
[1] Chodjim Achmad. Syekh Siti Jenar : Makrifat dan Makna Kehidupan. Jakarta . 2007. PT
Serambi Ilmu Semesta
0 comments: