Mengenai Saya 089661217321

advertisement

Powered by Blogger.
Home » » SYEKH SITI JEBAR DALAM MENGENAL TUHAN

SYEKH SITI JEBAR DALAM MENGENAL TUHAN



Syekh Siti Jenar yang memiliki nama asli Raden Abdul Jalil (juga dikenal dengan nama Sunan Jepara, Sitibrit, Syekh Lemahbang, dan Syekh Lemah Abang) adalah seorang tokoh yang dianggap sebagai sufi dan salah seorang penyebar agama Islam di Pulau Jawa, khususnya di Kabupaten Jepara.[1] Asal-usul Syekh Siti Jenar tidak diketahui dengan pasti karena ada banyak versi yang simpang-siur mengenai dirinya.[1] Demikian pula dengan berbagai versi lokasi makam tempat ia disemayamkan untuk terakhir kalinya.
Syekh Siti Jenar dikenal karena ajarannya, yaitu Manunggaling Kawula Gusti. Ajaran tersebut membuat dirinya dianggap sesat oleh sebagian umat Islam, sementara yang lain menganggapnya sebagai seorang intelek yang telah memperoleh esensi Islam. Ajaran-ajarannya tertuang dalam karya sastra buatannya sendiri yang disebut Pupuh, yang berisi tentang budi pekerti.
Syekh Siti Jenar mengembangkan ajaran cara hidup sufi yang dinilai bertentangan dengan ajaran Walisongo. Pertentangan praktik sufi Syekh Siti Jenar dengan Walisongo terletak pada penekanan aspek formal ketentuan syariah yang dilakukan oleh Walisongo.
Masa muda Syeh Siti Jenar dialaminya di Cirebon, karena beliau dilahirkan di daerah itu. Ketika masa remajanya berlalu, maka ia pun mengembara mencari pemahaman ilmu agama hingga ke Demak. Pada saat itu, keraton Demak Bintoro dipimpin oleh rajanya yang bernaama Pati Unus. Sueh Siti Jenar berjumpa para wali yang mengajari ilmu agama kepadanya, yang kemudian memberikan kesempatan kepadanya untuk mengajarkan apa yang dipahaminya itu kepada santri-santri muda di Demak. Wali-wali yang menjadi guru Syeh Siti Jenar itu adalah Syeh Maulana Maghribi dan Syeh Maulan Malik Ibrahim (Sunan Gresik). Dalam perjalanan meniti ilmu agama itu, beliaupun bertemu dengan Sunan Bonang, namun hanya sebentar saja.
Pergaulannya Syeh Siti Jenar di Demak termasuk sangat luas. Ia akrab dengan para wali, para petinggi pemerintahan Demak (bahkan rajanya sendiri sangat akrab dengan beliau), juga para pedagang yang berasal dari negeri semenanjung Arab, seperti Persia, Yaman, juga para pedagang Gujarat, dan sebagainya. Pergaulan yang luas ini semakin meningkatkan pengetahuannya karena banyaknya informasi yang dicerap dari pergaulannya itu. Informasi yang sangat menarik perhatiannya adalah ceritera tentang kearifan sufistik dan juga kelebihan-kelebihan atau karomah-karomah yang berkaitan dengan para sufi. Ketertarikannya itu membawanya menyeberang hingga ke Bagdad, melalui Demak.
Syeh Siti Jenar (Lemah Abang) dalam Mengenal Tuhan

Ajaran Siti Jenar memahami Tuhan sebagai ruh yang tertinggi, ruh maulana yang utama, yang mulia yang sakti, yang suci tanpa kekurangan. Itulah Hyang Widhi, ruh maulana yang tinggi dan suci menjelma menjadi diri manusia. Hyang Widhi itu di mana-mana, tidak di langit, tidak di bumi, tidak di utara atau selatan. Manusia tidak akan menemukan biarpun keliling dunia. Ruh maulana ada dalam diri manusia karena ruh manusia sebagai penjelmaan ruh maulana, sebagaimana dirinya yang sama-sama menggunakan hidup ini dengan indera, jasad yang akan kembali pada asalnya, busuk, kotor, hancur, tanah. Jika manusia itu mati ruhnya kembali bersatu ke asalnya, yaitu ruh maulana yang bebas dari segala penderitaan. Lebih lanjut Siti Jenar mengungkapkan sifat-sifat hakikat ruh manusia adalah ruh diri manusia yang tidak berubah, tidak berawal, tidak berakhir, tidak bermula, ruh tidak lupa dan tidak tidur, yang tidak terikat dengan rangsangan indera yang meliputi jasad manusia.
Syeh Siti Jenar mengaku bahwa, “aku adalah Allah, Allah adalah aku”. Lihatlah, Allah ada dalam diriku, aku ada dalam diri Allah.  Pengakuan Siti Jenar bukan bermaksud mengaku-aku dirinya sebagai Tuhan Allah Sang Pencipta ajali abadi, melainkan kesadarannya tetap teguh sebagai makhluk yang diciptakan Tuhan. Siti Jenar merasa bahwa dirinya bersatu dengan “ruh” Tuhan. Memang ada persamaan antara ruh manusia dengan “ruh” Tuhan atau Zat. Keduanya bersatu di dalam diri manusia. Persatuan antara ruh Tuhan dengan ruh manusia terbatas pada persatuan manusia denganNya. Persatuannya merupakan persatuan Zat sifat, ruh bersatu dengan Zat sifat Tuhan dalam gelombang energi dan frekuensi yang sama. Inilah prinsip kemanunggalan dalam ajaran tentang manunggaling kawula Gusti atau jumbuhing kawula Gusti. Bersatunya dua menjadi satu, atau dwi tunggal. Diumpamakan wiji wonten salebeting wit.


[1] Chodjim Achmad. Syekh Siti Jenar : Makrifat dan  Makna Kehidupan. Jakarta . 2007. PT Serambi Ilmu Semesta

0 comments:

Post a Comment