Oleh
: Ahmad Agus Tijani
Muqaddimah
Hampir
semua kasus yang menyangkut tragedi kemanusiaan di negeri yang katanya ramah
ini tidak kunjung terselesaikan secara adil. Persoalan yang menyangkut nasib
manusia, entah karena dipetieskan, ditutup-tutupi, diperdagangkan (melalui
konsesi-konsesi ekonomi politik) ataupun karena adanya intervensi-intervensi
pihak yang berkuasa (dominan) tidak lebih menjadi tontonan, jeritan dan
tangisan orang-orang tertindas. Muncul dalam benak kita, Dimanakah keadilan?
Jika kita menoleh kebelakang, banyak peristiwa yang menyangkut Hak-hak Azasi
Manusia tidak pernah tersentuh hukum dan keadilan bagi yang melakukannya Ketika
terjadi pemerkosaan dan pembunuhan, muncul pertanyaan di benak kita, dimana Tuhan
waktu itu? Para pemimpin kita yang berjuang atas nama rakyat, justru seringkali
menindas rakyat. Para wakil rakyat yang dipilih mewakili rakyat, justru menjadi
penjarah rakyat. Di samping kasus-kasus kemanusiaan lainnya yang tidak tuntas
secara hukum.
Pertanyaan
yang muncul adalah kemana rakyat mengadu? Adakah keadilan? Sejak Indonesia
berdiri yang ada adalah supremasi kekuasaan (militer, ekonomi dan birokrasi).
Indonesia sebagai bangsa yang religius justru tingkat pelanggaran HAM-nya
sangat tinggi. Mengapa semua ini terjadi? Adakah relevansinya dengan Teologi?
Teologi indo
Sistem
teologi masyarakat Indonesia yang formal-tradisional sebagai wujud dari sistem
kepercayaan dan nilai sosial budaya secara historis membentuk dan mengendap di
alam bawah sadar, sehingga menjelma menjadi kesadaran kolektif masyarakat
Indonesia yang terwariskan, pada gilirannya berimplikasi pada tataran sosial
praksis. Kesalahan yang sering kali diperlihatkan oleh orang-orang yang
dianggap suci atau yang mempunyai kekuasaan selalu ditolerir oleh masyarakat
sekitarnya.
Pendasaran
Ontologis dan epistemologis pelanggaran HAM ini disebabkan adanya kesalahan
paradigma, yaitu : pertama, Paradigma pembangunan yang salah arah membuat kita
bukan menjadi makmur, malah kita semakin tertindas dan asing di negeri sendiri.
Kesalahan paradigma ini menyebabkan peran yang berkuasa semakin kuat yang dalam
hal ini adalah peran negara, sedangkan yang dikuasai semakin lemah yang dalam
hal ini adalah rakyat. Kesalahan paradigma ini didasarkan pada pembangunan yang
menitik beratkan pada sektor pertumbuhan ekonomi sebagai landasan utama,
sehingga menyebabkan lemahnya sektor-sektor moral, politik dan sosial budaya.
Pembangunan justru lebih berpihak pada para konglomerat sebagai agen
kapitalisme modern dan rakyat lebih menjadi sasaran kesengsaraan dan
ketertindasan. Perilaku konglomerat bersifat monopolis, eksploitataif, yaitu
membangun networking pemasaran sendiri dan menindas setiap yang menghalangi
kepentingannya.
Realitas bangsa Indonesia saat ini sulit terelakkan adanya cengkeraman negara yang sangat kuat dan betapa lemahnya masyarakat sipil. Negara yang semula berfungsi sebagai alat bagi masyarakat untuk mencapai tatanan sosial yang adil dan makmur, egalitarianisme telah bergeser menjadi dominasi kepentingan.
Realitas bangsa Indonesia saat ini sulit terelakkan adanya cengkeraman negara yang sangat kuat dan betapa lemahnya masyarakat sipil. Negara yang semula berfungsi sebagai alat bagi masyarakat untuk mencapai tatanan sosial yang adil dan makmur, egalitarianisme telah bergeser menjadi dominasi kepentingan.
Paradigma teologis yang menjadi landasan
ontologis religius pelanggaran HAM adalah adanya pemahaman keagamaan dengan
sistem teologi formal-legalistik tradisional yang menyebabkan umat menjadi ragu
dalam melakukan tindakan kritis, pembelaan dan penerapan supremasi hukum
terhadap pelanggaran HAM. Pandangan utama sistem teologi mayoritas umat
beragama di Indonesia, yaitu bahwa Tuhan yang Kuasa, mempunyai Kehendak apa
saja, dan apa saja yang terjadi di dunia ini adalah hasil kehendak Tuhan.
Persoalan baik dan buruk, keduanya diciptakan Tuhan. Sistem teologi seperti ini
dalam istilah Frithjof Schoun disebut teologi voluntarisme, suatu sistem
teologi yang mempunyai implikasi kesadaran bagi penganutnya untuk membiarkan penindasan
dan eksploitasi.
Untuk
keluar dari fenomena dan paradigma teologis seperti ini, maka Hasan Hanafi
menawarkan sebuah teologi Kritis dengan titik tekan pada adanya dekontruksi
teks suci yang bias penguasa dan status quo. Teologi sebagai Kiri. Artinya,
teologi berfungsi sebagai upaya pembebasan dan mendekonstruksi problem umat
atau upaya protes terhadap penindasan dalam praktek kekuasaan. Karena itu,
segala bentuk eksploitasi dan penindasan bisa disingkirkan dalam upaya
membangun kerajaan Tuhan (Surga) di bumi.
Teologi
kritis yang membebaskan akan terwujud, Teologi harus ditransformasikan secara
kreatif dalam dimensi etika sosial. Secara etika sosial, teologi diharapkan
dapat memberi "makna terdalam dari hakekat dan eksitensi" bagi
manusia sebagai hamba Tuhan di bumi ini. Teologi harus memberikan rasa keadilan
dan tidak diskriminatif, sehingga orang yang bersalah harus diganjar sesuai
dengan perbuatannya.
Teologi
Keadilan menempatkan manusia pada bingkai egalitarianisme dan penafian
diskriminasi ataupun eksploitasi manusia atas manusia dengan melakukan
pelanggaran terhadap hak-hak dasar manusia yang merupakan hak azasi manusia.
Kezaliman merupakan pelanggaran atas hak-hak orang lain. Setiap pelanggaran HAM
merupakan perbuatan yang masuk katagori kezaliman dalam pengertian Murtadla Mutahhari,
atau termasuk katagori kafir dalam pengertian Asghar Ali Engineer, sehingga
setiap pelanggaran HAM harus diadili dan dituntaskan demi tercapainya keadilan
dan kedamaian. Untuk itu, disamping kita berani menegakan supremasi hukum juga
harus ada redefinisi dan rekontruksi teologi yang lebih berpihak kepada orang
yang tertindas dalam rangka mengeliminer pelanggaran HAM yang dilakukan negara,
baik penguasa, militer maupun birokrasi.
0 comments: