Mengenai Saya 089661217321

advertisement

Powered by Blogger.
Home » » TEOLOGI KEADILAN DAN HAM INDONESIA

TEOLOGI KEADILAN DAN HAM INDONESIA




Oleh : Ahmad Agus Tijani
Muqaddimah
Hampir semua kasus yang menyangkut tragedi kemanusiaan di negeri yang katanya ramah ini tidak kunjung terselesaikan secara adil. Persoalan yang menyangkut nasib manusia, entah karena dipetieskan, ditutup-tutupi, diperdagangkan (melalui konsesi-konsesi ekonomi politik) ataupun karena adanya intervensi-intervensi pihak yang berkuasa (dominan) tidak lebih menjadi tontonan, jeritan dan tangisan orang-orang tertindas. Muncul dalam benak kita, Dimanakah keadilan? Jika kita menoleh kebelakang, banyak peristiwa yang menyangkut Hak-hak Azasi Manusia tidak pernah tersentuh hukum dan keadilan bagi yang melakukannya Ketika terjadi pemerkosaan dan pembunuhan, muncul pertanyaan di benak kita, dimana Tuhan waktu itu? Para pemimpin kita yang berjuang atas nama rakyat, justru seringkali menindas rakyat. Para wakil rakyat yang dipilih mewakili rakyat, justru menjadi penjarah rakyat. Di samping kasus-kasus kemanusiaan lainnya yang tidak tuntas secara hukum.
Pertanyaan yang muncul adalah kemana rakyat mengadu? Adakah keadilan? Sejak Indonesia berdiri yang ada adalah supremasi kekuasaan (militer, ekonomi dan birokrasi). Indonesia sebagai bangsa yang religius justru tingkat pelanggaran HAM-nya sangat tinggi. Mengapa semua ini terjadi? Adakah relevansinya dengan Teologi?
Teologi indo
Sistem teologi masyarakat Indonesia yang formal-tradisional sebagai wujud dari sistem kepercayaan dan nilai sosial budaya secara historis membentuk dan mengendap di alam bawah sadar, sehingga menjelma menjadi kesadaran kolektif masyarakat Indonesia yang terwariskan, pada gilirannya berimplikasi pada tataran sosial praksis. Kesalahan yang sering kali diperlihatkan oleh orang-orang yang dianggap suci atau yang mempunyai kekuasaan selalu ditolerir oleh masyarakat sekitarnya.
Pendasaran Ontologis dan epistemologis pelanggaran HAM ini disebabkan adanya kesalahan paradigma, yaitu : pertama, Paradigma pembangunan yang salah arah membuat kita bukan menjadi makmur, malah kita semakin tertindas dan asing di negeri sendiri. Kesalahan paradigma ini menyebabkan peran yang berkuasa semakin kuat yang dalam hal ini adalah peran negara, sedangkan yang dikuasai semakin lemah yang dalam hal ini adalah rakyat. Kesalahan paradigma ini didasarkan pada pembangunan yang menitik beratkan pada sektor pertumbuhan ekonomi sebagai landasan utama, sehingga menyebabkan lemahnya sektor-sektor moral, politik dan sosial budaya. Pembangunan justru lebih berpihak pada para konglomerat sebagai agen kapitalisme modern dan rakyat lebih menjadi sasaran kesengsaraan dan ketertindasan. Perilaku konglomerat bersifat monopolis, eksploitataif, yaitu membangun networking pemasaran sendiri dan menindas setiap yang menghalangi kepentingannya.

Realitas bangsa Indonesia saat ini sulit terelakkan adanya cengkeraman negara yang sangat kuat dan betapa lemahnya masyarakat sipil. Negara yang semula berfungsi sebagai alat bagi masyarakat untuk mencapai tatanan sosial yang adil dan makmur, egalitarianisme telah bergeser menjadi dominasi kepentingan.
 Paradigma teologis yang menjadi landasan ontologis religius pelanggaran HAM adalah adanya pemahaman keagamaan dengan sistem teologi formal-legalistik tradisional yang menyebabkan umat menjadi ragu dalam melakukan tindakan kritis, pembelaan dan penerapan supremasi hukum terhadap pelanggaran HAM. Pandangan utama sistem teologi mayoritas umat beragama di Indonesia, yaitu bahwa Tuhan yang Kuasa, mempunyai Kehendak apa saja, dan apa saja yang terjadi di dunia ini adalah hasil kehendak Tuhan. Persoalan baik dan buruk, keduanya diciptakan Tuhan. Sistem teologi seperti ini dalam istilah Frithjof Schoun disebut teologi voluntarisme, suatu sistem teologi yang mempunyai implikasi kesadaran bagi penganutnya untuk membiarkan penindasan dan eksploitasi.
Untuk keluar dari fenomena dan paradigma teologis seperti ini, maka Hasan Hanafi menawarkan sebuah teologi Kritis dengan titik tekan pada adanya dekontruksi teks suci yang bias penguasa dan status quo. Teologi sebagai Kiri. Artinya, teologi berfungsi sebagai upaya pembebasan dan mendekonstruksi problem umat atau upaya protes terhadap penindasan dalam praktek kekuasaan. Karena itu, segala bentuk eksploitasi dan penindasan bisa disingkirkan dalam upaya membangun kerajaan Tuhan (Surga) di bumi.
Teologi kritis yang membebaskan akan terwujud, Teologi harus ditransformasikan secara kreatif dalam dimensi etika sosial. Secara etika sosial, teologi diharapkan dapat memberi "makna terdalam dari hakekat dan eksitensi" bagi manusia sebagai hamba Tuhan di bumi ini. Teologi harus memberikan rasa keadilan dan tidak diskriminatif, sehingga orang yang bersalah harus diganjar sesuai dengan perbuatannya.
Teologi Keadilan menempatkan manusia pada bingkai egalitarianisme dan penafian diskriminasi ataupun eksploitasi manusia atas manusia dengan melakukan pelanggaran terhadap hak-hak dasar manusia yang merupakan hak azasi manusia. Kezaliman merupakan pelanggaran atas hak-hak orang lain. Setiap pelanggaran HAM merupakan perbuatan yang masuk katagori kezaliman dalam pengertian Murtadla Mutahhari, atau termasuk katagori kafir dalam pengertian Asghar Ali Engineer, sehingga setiap pelanggaran HAM harus diadili dan dituntaskan demi tercapainya keadilan dan kedamaian. Untuk itu, disamping kita berani menegakan supremasi hukum juga harus ada redefinisi dan rekontruksi teologi yang lebih berpihak kepada orang yang tertindas dalam rangka mengeliminer pelanggaran HAM yang dilakukan negara, baik penguasa, militer maupun birokrasi.

0 comments:

Post a Comment