Ibnu
‘Arabi adalah salah satu tokoh Filsafat Islam. Nama lengkap Ibnu Arabi adalah Muhi al-Din ibnu ‘Arabi.[1]
Ada juga yang mengemukakan bahwa nama lengkap Ibnu ‘Arabi adalah Muhammad ibnu
‘Ali bin Ahmad bin ‘Abdullah Ath-Tha’i al-Haitami yang dilahirkan pada tanggal
17 Ramadhan tahun 560 H atau tepatnya pada tanggal 28 juli1165 di Murcia,
Andalusia Tenggara, Spanyol.[2]
Beliau juga sering dipanggil dengan nama Suraqah.[3]
Beliau dilahirkan dalam keluarga yang cukup saleh.[4]
Pada
usia 8 tahun sekitar tahun 568/1172, beliau pergi ke Lisbon. Beliau belajar
kepada gurunya yaitu Syekh Abu Bakar b. Khalaf untuk belajar agama Islam.[5]Kemudian
ketika Ibnu ‘Arabi dewasa kurang lebih sekitar berusia 30 tahun, beliau pergi
keberbagai kawasan Andalusia dan kawasan Islam bagian barat.[6]Beliau
juga pergi lagi pada usia 38 tahun menuju timur untuk mengerjakan ibadah Haji
sekitar tahun 598/1201. [7]
Ketika
selesai belajar di Seville, beliau pergi ke Tunis pada Tahun 1194 dan masuk
dalam suatu aliran yaitu aliran sufi.[8] pada
tahun 598 atau 1202beliau pergi ke Mesir bersama ‘Abdullah al-Hanashi dalam
jangka waktu yang tertentu, akan tetapi kemudian beliau berpindah atau pergi ke
Aleppo dan Asia Kecil pada tahun 601 dan 608 H. Sehingga pada akhirnya beliau
wafat di Damaskus pada tahun 603, yang dimakamkan di kaki Gunung Qasiyun.[9]
A.
Konsep Insan Kamil
Insan
menurut bahasa adalah manusia, sedangkan kamil menurut bahasa ialah sempurna,
jadi Insan Kamil adalah manusia sempurna. Maksud dari Insan Kamil disini ialah
salah satu makhluk yang berada dibumi
sebagai cerminan yang memancarkan nama-nama Tuhan dan Sifat-sifat Tuhan.[1]Karena
Tuhan (Allah) terlepas dari sifat-sifat kekurangan, maka dari itu Tuhan Maha
Sempurna.[2]
Bisa dilihat diatas bahwa manusia adalah wakil Tuhan di Bumi untuk menegakan
sifat-sifat yang diberikan Tuhan kepada manusia.
Menurut
Afifi, dalam pengertian sempurna yang dimaksud Ibnu ‘Arabi mempunyai pengertian
yaitu yang unik.[3]
manusia bisa dibilang unik karena manusia adalah makhluq satu-satunya yang
didalamnya terdapat untuk mengenal Tuhan secara mutlak.[4]Manusia
sempurna juga merupakan suatu manifestasi sempurna dari Tuhan karena didasarkan
pada kesadaranya. Setiap menusia sempurna dipastikan bahwa ia adalah seorang
mistik menurut pengertian Ibnu ‘Arabi.[5]
Manusia
hakikinya tidak berwujud karena wujud manusia hanya bergantung kepada Allah,
dan hanya Allah lah yang mempunyai wujud hakiki.[6]
[1]Sayyid Husen Nasr, 1985, Tasauf Dulu Dan Sekarang, Jakarta:
Pustaka Firdaus, cetakan 1, hlm. 32
[2]Ibnu Tufail, 2010, Hayy Bin Yaqdzon, Jakata: Navila. yang
diterjemahkan oleh Nurhidayah, cetakan 1. Hlm. 209
[3]Afifi, Filsafat Mistis Ibnu ‘Arabi, 1995, Op. Cit., hlm. 113
[5]Ibid,
[6]Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam,
2010, Op.Cit., hlm. 76
[1]lihat dalam Harun Nasution, 2010, falsafat dan Mistisisme dalam
Islam, Jakarta: Bulan Bintang, hlm. 75.
[2]Lihat dalam Rosihon Anwar,2010, Akhlak Tasawuf, Bandung: CV Pustaka Setia.
Hlm.279. yang di ambil dari Abu Al-Wafa’ Al-Ghanami At-Taftazani,sufi dari zaman ke zaman, terj. Ahmad
Rafi’i Utsmani, Bandung. Hlm. 201.
[3]Miska Muhammad Amien, 1983, Epistemologi Islam pengantar Filsafat
Pengetahuan Islam , Yogyakarta: UI Press. Hlm.56
[4]Afifi, 1995, Filsafat Mistis Ibnu ‘Arabi, Jakarta: Gaya Pratama. Cetakan. II,
hlm.1
[6]Rosihon anwar, 2010, Akhlak Tasawuf, Bandung: CV Pustaka
Setia. Hlm. 279
[7]Afifi, Filsafat Mistis Ibnu ‘Arabi,1995. Op. Cit., hlm. 2
[8]Harun Nasution , Falsafat dan Mistisime dalam Islam.
2010, Op. Cit. Hlm. 75
0 comments: