Oleh : Ahmad Agus Tijani
Muqoddimah
Dalam dataran historis-empiris, Islam
hadir ditengah-tengah masyarakat yang kacau, yang ditandai dengan manipisnya
penghargaan manusia pada nilai-nilai kemanusiaan mereka sendiri. Kehadiran
Islam di bumi Arab pada satu sisi merupakan risalah pentauhidan, pengesaan
Tuhan sebagai sesembahan Tunggal. Risalah pentauhidan ini disampaikan oleh
seorang manusia sempurna, Muhammad kepada masyarakat Arab Jahiliyah yang telah
menciptakan objek sesembahan baru berupa patung-patung berhala seperti Latta
dan Uzza. Di sisi lainnya, kehadiran Islam di tengah masyarakat Arab Jahiliyah
juga diyakini sebagai awal lahirnya risalah pembebasan manusia dari
ketertindasan, kebodohan, perbudakan dan diskriminasi struktur sosial di
masyarakat Arab Jahiliyah.
Dalam
konteks kekinian islam Di hadapan kemiskinan dan merebaknya teror kemanusiaan
dalam wajah penindasan, sebagai individu beragama dan sehat dengan
keberagamaannya tentu akan tergerak nurani dan rasio akal budinya untuk ikut
terlibat dalam sebuah refleksi dan pilihan perjuangan membebaskan mereka yang
teraniaya secara sosio-eko-pol tersebut. Dalam konteks Indonesia saat ini,
kemiskinan, keterbelakangan, minimnya akses pengetahuan karena mahalnya biaya
pendidikan, dan korupsi, telah menjadi halaman depan kebudayaan kita yang tak
berkesudahan. Banyak pihak saling tuding, saling menyalahkan, dan saling gebuk
satu sama lain sebagai biang dari kegagalan masa transisi demokrasi yang jamak
disebut dengan era reformasi (oleh Cak Nun diplesetkan menjadi era Refotnasi).
Namun pertanyaan mendasar kita sesungguhnya adalah dimana posisi iman dan rasa
keberagamaan kita ditengah huru-hara sosial politik tersebut?
Islam Yang Bernuansa Teologis Sosial
Menurut
Ali Syari’ati, yang dikenal sebagai cendikiawan Iran termasyhur pada abad ke 20
mengatakan bahwa “Islam adalah Agama yang realistis dan mencintai alam, kekuatan, keindahan,
kelimpahan, kemajuan, dan keterpenuhan segala kebutuhan manusia”.
Dari
pernyataan Ali Syariati dapat di jabarkan bahwa Islam berarti sebagai ketundukan kepada prinsip-prinsip kebenaran,
kesetaraan sosial, cinta, dan prinsip-prinsip lain yang melandasi berdirinya
suatu komunitas yang bebas dan setara. Islam bukanlah hanya sebuah ide baku
atau suatu sistem ritual-ritual, upacara-upacara dan lembaga-lembaga yang kaku
belaka, melainkan suatu prinsip progresif yang selalu menghapuskan
tatanan-tatanan lama yang sudah tidak sesuai dengan situasi dan kondisi
masyarakat, memelihara segala sesuatu yang masih relevan serta merevisi dan
merenovasi dengan menghadirkan hal-hal baru yang lebih maslahat dan manfaat.
Musa menghapus tatanan sosial yang dibangun
Ibrahim. Isa mencabut tatanan ekonomi Musa. Muhammad SAW menghapus
lembaga-lembaga sosial dan ekonomi yang dibangun oleh nabi-nabi sebelumnya.
Tetapi semuanya saling menegaskan kebenaran satu sama lain. Kebenarannya adalah
bahwa semua manusia adalah setara. Mereka harus jujur, berkata benar, dan
berjuang melawan kekuatan-kekuatan jahat, diskriminasi, penindasan, dan
kepalsuan.
Oleh karena itu islam harus dijadikan sebagai sebuah konsep
teologi sosial yang humanis, yang lebih memperhatikan permasalahan-permasalah
ummat yang sedang di hadapi saat ini. Inti
sesungguhnya dari teologi pembebasan tak lain adalah sebuah refleksi teologis
yang lahir dari pengalamannya bergumul bersama orang-orang kecil yang tertindas
yang kemudian mendorongnya untuk melakukan kontekstualisasi dalam berteologi.
Menurut
Ali Syari’ati prinsip Teologi Pembebasan sebagai berikut :
1. Pertama, tidak menginginkan status qou yang melindungi golongan
kaya ketika berhadapan dengan golongan miskin. Dengan kata lain, Teologi
Pembebasan bersifat anti kemapanan, apakah kemapanan religius ataupun kemapanan
politik.
2. Kedua, Teologi Pembebasan
memainkan peran dalam membela kelompok tertindas (kaum mustadl’afin) serta
memperjuangkan kepentingan kelompok ini
dengan cara membekali senjata ideologis yang kuat untuk melawan golongan yang
menindasnya.
Dalam konteks keindonesiaan, menurut
Abad Badruzaman, solusi Al-Qur’an atas problematika kemiskinan, krisis ekonomi
tidak akan dapat diaplikasikan dengan baik apabila pemerintah tidak mengambil
bagian di dalamnya. Bagaimanapun, problematika yang begitu komplek di negeri
ini mewajibkan seluruh elemen, baik pemerintah maupun rakyat untuk selalu
menjalin kerjasama dalam mengatasi permasalahan tersebut. Relevansinya
bertemali dengan seruan Al-Qur’an yang memerintahkan kepada rakyat suatu Negara
untuk selalu mentaati perintah penguasa selama dalam konteks kebenaran. Namun,
solusi yang diberikan Al-Qur’an tidak akan berjalan efektif selama kedua elemen
tersebut ; penguasa dan rakyat, tidak pernah menemukan titik temu. Penguasa
bertindak lalim dengan mengkorupsi uang rakyatnya, sementara itu rakyatnya akan
terus membangkang dan tetap hidup dalam jerat kemiskinan.
Untuk itulah kita sebagai pemegang tali
estafet perjuangan bangsa harus senantiasa mengawal dan mengontrol segala
kebijakan dan keputusan yang dikeluarkan pemerintah. Kalau memang dinilai tidak
memihak rakyat, kita harus berani berada pada barisan depan untuk menyuarakan Tidak pada
penguasa yang lalim tersebut.
0 comments: