Mengenai Saya 089661217321

advertisement

Powered by Blogger.
Home » » TEOLOGI SOSIAL ISLAM DALAM KONTEKS INDONESIA

TEOLOGI SOSIAL ISLAM DALAM KONTEKS INDONESIA




Oleh : Ahmad Agus Tijani
Muqoddimah
Dalam dataran historis-empiris, Islam hadir ditengah-tengah masyarakat yang kacau, yang ditandai dengan manipisnya penghargaan manusia pada nilai-nilai kemanusiaan mereka sendiri. Kehadiran Islam di bumi Arab pada satu sisi merupakan risalah pentauhidan, pengesaan Tuhan sebagai sesembahan Tunggal. Risalah pentauhidan ini disampaikan oleh seorang manusia sempurna, Muhammad kepada masyarakat Arab Jahiliyah yang telah menciptakan objek sesembahan baru berupa patung-patung berhala seperti Latta dan Uzza. Di sisi lainnya, kehadiran Islam di tengah masyarakat Arab Jahiliyah juga diyakini sebagai awal lahirnya risalah pembebasan manusia dari ketertindasan, kebodohan, perbudakan dan diskriminasi struktur sosial di masyarakat Arab Jahiliyah.
Dalam konteks kekinian islam Di hadapan kemiskinan dan merebaknya teror kemanusiaan dalam wajah penindasan, sebagai individu beragama dan sehat dengan keberagamaannya tentu akan tergerak nurani dan rasio akal budinya untuk ikut terlibat dalam sebuah refleksi dan pilihan perjuangan membebaskan mereka yang teraniaya secara sosio-eko-pol tersebut. Dalam konteks Indonesia saat ini, kemiskinan, keterbelakangan, minimnya akses pengetahuan karena mahalnya biaya pendidikan, dan korupsi, telah menjadi halaman depan kebudayaan kita yang tak berkesudahan. Banyak pihak saling tuding, saling menyalahkan, dan saling gebuk satu sama lain sebagai biang dari kegagalan masa transisi demokrasi yang jamak disebut dengan era reformasi (oleh Cak Nun diplesetkan menjadi era Refotnasi). Namun pertanyaan mendasar kita sesungguhnya adalah dimana posisi iman dan rasa keberagamaan kita ditengah huru-hara sosial politik tersebut?
Islam Yang Bernuansa Teologis Sosial
Menurut Ali Syari’ati, yang dikenal sebagai cendikiawan Iran termasyhur pada abad ke 20 mengatakan bahwa “Islam adalah Agama yang realistis dan mencintai alam, kekuatan, keindahan, kelimpahan, kemajuan, dan keterpenuhan segala kebutuhan manusia”.
Dari pernyataan Ali Syariati dapat di jabarkan bahwa Islam berarti sebagai ketundukan kepada prinsip-prinsip kebenaran, kesetaraan sosial, cinta, dan prinsip-prinsip lain yang melandasi berdirinya suatu komunitas yang bebas dan setara. Islam bukanlah hanya sebuah ide baku atau suatu sistem ritual-ritual, upacara-upacara dan lembaga-lembaga yang kaku belaka, melainkan suatu prinsip progresif yang selalu menghapuskan tatanan-tatanan lama yang sudah tidak sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat, memelihara segala sesuatu yang masih relevan serta merevisi dan merenovasi dengan menghadirkan hal-hal baru yang lebih maslahat dan manfaat. Musa menghapus tatanan sosial yang dibangun Ibrahim. Isa mencabut tatanan ekonomi Musa. Muhammad SAW menghapus lembaga-lembaga sosial dan ekonomi yang dibangun oleh nabi-nabi sebelumnya. Tetapi semuanya saling menegaskan kebenaran satu sama lain. Kebenarannya adalah bahwa semua manusia adalah setara. Mereka harus jujur, berkata benar, dan berjuang melawan kekuatan-kekuatan jahat, diskriminasi, penindasan, dan kepalsuan.
Oleh karena itu islam harus dijadikan sebagai sebuah konsep teologi sosial yang humanis, yang lebih memperhatikan permasalahan-permasalah ummat yang sedang di hadapi saat ini. Inti sesungguhnya dari teologi pembebasan tak lain adalah sebuah refleksi teologis yang lahir dari pengalamannya bergumul bersama orang-orang kecil yang tertindas yang kemudian mendorongnya untuk melakukan kontekstualisasi dalam berteologi.
Menurut Ali Syari’ati prinsip Teologi Pembebasan  sebagai berikut :
1.      Pertama, tidak menginginkan status qou yang melindungi golongan kaya ketika berhadapan dengan golongan miskin. Dengan kata lain, Teologi Pembebasan bersifat anti kemapanan, apakah kemapanan religius ataupun kemapanan politik.
2.      Kedua, Teologi Pembebasan memainkan peran dalam membela kelompok tertindas (kaum mustadl’afin) serta memperjuangkan kepentingan kelompok ini dengan cara membekali senjata ideologis yang kuat untuk melawan golongan yang menindasnya.
Dalam konteks keindonesiaan, menurut Abad Badruzaman, solusi Al-Qur’an atas problematika kemiskinan, krisis ekonomi tidak akan dapat diaplikasikan dengan baik apabila pemerintah tidak mengambil bagian di dalamnya. Bagaimanapun, problematika yang begitu komplek di negeri ini mewajibkan seluruh elemen, baik pemerintah maupun rakyat untuk selalu menjalin kerjasama dalam mengatasi permasalahan tersebut. Relevansinya bertemali dengan seruan Al-Qur’an yang memerintahkan kepada rakyat suatu Negara untuk selalu mentaati perintah penguasa selama dalam konteks kebenaran. Namun, solusi yang diberikan Al-Qur’an tidak akan berjalan efektif selama kedua elemen tersebut ; penguasa dan rakyat, tidak pernah menemukan titik temu. Penguasa bertindak lalim dengan mengkorupsi uang rakyatnya, sementara itu rakyatnya akan terus membangkang dan tetap hidup dalam jerat kemiskinan.
Untuk itulah kita sebagai pemegang tali estafet perjuangan bangsa harus senantiasa mengawal dan mengontrol segala kebijakan dan keputusan yang dikeluarkan pemerintah. Kalau memang dinilai tidak memihak rakyat, kita harus berani berada pada barisan depan untuk menyuarakan Tidak pada penguasa yang lalim tersebut.



0 comments:

Post a Comment