Hermeneutik berasal dari bahasa yunani hermeneien
yang berarti mengertikan, menafsirkan, menerjemahkan, dan bertindak sebagai
penafsir. Disebutkan ada tokoh yang bernama Hermes yang bertugas menafsirkan
kehendak dewa dengan bantuan kata-kata manusia agar dapat dipahami oleh manusia
sebab bahasa dewa tidak dapat dipahami oleh manusia. Hermes tidak lain adalah
nabi idris. Tahrir (2004;8). Dari buku yang lain disebutkan hermeneutic diambil
dari peran hermes, hermes sendiri adalah sebuah ilmu atau seni menginterpretasikan
sebuah teks.
Hermenetik merupakan suatu metode penafsiran yang
berangkat dari analisis bahasa dan kemudian melangkah ke analisis konteks,
untuk kemudian menarik makna yang didapat didalam ruang dan waktu saat proses
pemahaman dan penafsiran tersebut dilakukan.
Jika pendekatan hermenetik ini dilakukan pada
Al-Qur’an maka, persoalan dan tema okok yang dihadapi adalah bagaimana teks
Al-Qur’an hadir ditengah-tengah masyarakat lalu dipahami, ditafsirkan,
diterjemahkan, dan didialogkan sesuai dengan realitas historisnya.
Ketika asumsi-asumsi hermenetik diwujudkan pada
ulumul Qur’an ada tiga variable yang harus diperhatikan yaitu teks, konteks,
dan kontekstualisasi. Tentang teks sudah jelas ulumul-Qur’an telah membahasnya
secara detail, seperti dalam sejarah pembukuan mushaf Al-Qur’an dengan metode
riwayat. Kemudian konteks bidang kajiannya seperti asbabul nuzul,
makiyyah-madaniyyah. Selanjutnya kontekstualisasi, kontekstualisasi ini adalah
perangkat metodologis agar teks yang berasal dari masa lalu dapat dipahami dan
bermanfaat bagi masa sekarang.
Disini kita mengambil contoh potong tangan yag
terdapat dalam Al-Qur’an meski secara tegas dalam Al-Qur’an tertulis kewajiban
hokum potong tangan bagi pencuri, namun hal itu dapat dipahami secara berbeda.
Dalam pandangan hermenetik, pesan yang tidak terkatakan adalah adanya keadilan
dalam pemenuhan hak dan kewajiban. Hak untuk memiliki suatu benda tidak boleh
dicapai dengan mengesampingkan aturan-aturan yang ada. Pada saat ayat itu turun
konteks social masyarakat ketika itu mengharuskan adanya hokum potong tangan
bagi pencuri. Namun di zaman sekarang, dengan kondisi social masyarakat yang
berbeda dengan kondisi social pada saat dahulu seperti yag terjadi di arab,
maka substansi dari hokum potong tangan lebih dikedepankan. Dinegara kita,
hokum potong tangan bagi pencuri digant dengan hukuman penjara, suatu upaya
secara substansi sama dalam mencegah adanya pengulangan kejahatan yang sama.
Lihat Pula : Metode Rasional dalam Memahami Agama dan Filsafat
Lihat Pula : Metode Rasional dalam Memahami Agama dan Filsafat
Sumber
Referensi :
1.
Thahrir Lukman S. 2004. Studi
Islam Indisipliner. Yogyakarta :
Penerbit Qitras
0 comments: