Pandangan Syeh Lemah Abang Tentang Manusia
Dalam memandang
hakikat manusia Siti Jenar membedakan antara jiwa dan akal. Jiwa merupakan suara hati nurani manusia yang
merupakan ungkapan dari zat Tuhan, maka hati nurani harus ditaati dan dituruti
perintahnya. Jiwa merupakan kehendak Tuhan, juga merupakan penjelmaan
dari Hyang Widdhi (Tuhan) di dalam jiwa, sehingga raga dianggap sebagai wajah
Hyang Widdhi. Jiwa yang berasal dari Tuhan itu mempunyai sifat zat Tuhan yakni
kekal, sesudah manusia raganya mati maka lepaslah jiwa dari belenggu raganya. Demikian
pula akal merupakan kehendak, tetapi angan-angan dan ingatan yang kebenarannya
tidak sepenuhnya dapat dipercaya, karena selalu berubah-ubah.
Menurut sabdalangit, perbedaan karakter jiwa dan akal yang bertolak
belakang dalam pandangan Siti Jenar, disebabkan oleh adanya garis demarkasi
yang menjadi pemisah antara sifat hakikat jiwa dan akal-budi. Jiwa terletak di
luar nafsu, sementara akal-budi letaknya berada di dalam nafsu. Mengenai
perbedaan jiwa dan akal, dalam wirayat Saloka Jati diungkapkan bahwa akal-budi
umpama kodhok kinemulan ing leng atau wit jroning wiji (pohon ada di dalam
biji). Sedangkan jiwa umpama kodhok
angemuli ing leng atau wiji
jroning wit (biji ada di dalam pohon).
Bagi Syeh Siti Jenar, proses
timbulnya pengetahuan datang secara bersamaan dengan munculnya kesadaran subyek
terhadap obyek. Maka pengetahuan mengenai kebenaran Tuhan akan diperoleh
seseorang bersama dengan penyadaran diri orang itu. Jika ingin mengetahui
Tuhanmu, ketahuilah (terlebih dahulu) dirimu sendiri. Syeh Lemah bang percaya
bahwa kebenaran yang diperoleh dari hal-hal di atas ilmu pengetahuan, mengenai
wahyu dan Tuhan bersifat intuitif. Kemampuan intuitif ini ada bersamaan dengan
munculnya kesadaran dalam diri seseorang.
Pandangan Syeh Lemah Bang Tentang Kehidupan Dunia
Pandangan Syeh Jenar tentang dunia
adalah bahwa hidup di dunia ini sesungguhnya adalah mati. Dikatakan demikian
karena hidup di dunia ini ada surga dan neraka yang tidak bisa ditolak oleh
manusia. Manusia yang mendapatkan surga mereka akan mendapatkan kebahagiaan,
ketenangan, kesenangan. Sebaliknya rasa bingung, kalut, muak, risih, menderita
itu termasuk neraka. Jika manusia hidup mulia, sehat, cukup pangan,
sandang, papan maka ia dalam surga. Tetapi kesenangan atau surga di dunia ini
bersifat sementara atau sekejap saja, karena betapapun juga manusia dan sarana
kehidupannya pasti akan menemui kehancuran.
Syeh Jenar mengumpamakan bahwa
manusia hidup ini sesungguhnya mayat yang gentayangan untuk mencari pangan
pakaian dan papan serta mengejar kekayaan yang dapat menyenangkan jasmani.
Manusia bergembira atas apa yang ia raih, yang memuaskan dan menyenangkan
jiwanya, padahal ia tidak sadar bahwa semua kesenangan itu akan binasa. Namun
begitu manusia suka sombong dan bangga atas kepemilikan kekayaan, tetapi tidak
menyadari bahwa dirinya adalah bangkai. Manusia justru merasa dirinya mulia dan
bahagia, karena manusia tidak menyadari bahwa harta bendanya merupakan penggoda
manusia yang menyebabkan keterikatannya pada dunia.
Jika manusia tidak menyadari itu
semua, hidup ini sesungguhnya derita. Pandangan seperti itu menjadikan
sikap dan pandangan Siti Jenar menjadi ekstrim dalam memandang kehidupan dunia.
Hidup di dunia ini adalah mati, tempat baik dan buruk, sakit dan sehat, mujur
dan celaka, bahagia dan sempurna, surga dan neraka, semua bercampur aduk
menjadi satu. Dengan adanya peraturan
maka manusia menjadi terbebani sejak lahir hingga mati. Maka Syeh Siti
Jenar sangat menekankan pada upaya manusia untuk hidup yang abadi agar tahan
mengalami hidup di dunia ini. Siti Jenar kemudian mengajarkan bagaimana mencari
kamoksan (mukswa/mosca) yakni mati sempurna
beserta raganya lenyap masuk ke dalam ruh (warongko manjing curigo). Hidup ini mati, karena mati itu hidup
yang sesungguhnya karena manusia bebas dari segala beban dan derita. Karena
hidup sesudah kematian adalah hidup yang sejati, dan abadi.
0 comments: