Manusia
adalah makhluk Allah dan menjadi wakil-Nya di atas bumi. Pemenuhan moral kehendak
Tuhan menuntut pemberian kebebasan kepada sang subyek untuk menerima atau
menolaknya. Karena, hanya jika seseorang bebas dalam melakukannya, maka
dapatlah itu disebut sebagai pemenuhan moral. Sedangkan jika perbuatan itu
dilakukan secara tidak sadar, maka penerimaan itu hanyalah bersifat
utilitarian, bukan moral; demikian pula jika berupa paksaan, hal itu malah tak
bermoral, walaupun mempunyai nilai guna.
Manusia adalah makhluk kosmis yang
sangat penting, karena kemmungkinan yang dimilikinya. Dalam menciptakan manusia
Allah telah membekalinya sesuai dengan yang dibutuhkan. Allah telah memberi dia
mata untuk melihat, lidah dan bibir untuk berbicara dan berkomunikasi, telinga
untuk mendengar, tangan dang anggota badan untuk berbuat, bergerak dan untuk
mengadakan perubahan. Ia memberikan pengertian dan akal untuk menemukan dan
menangkap hokum alam, mengingat dan membaca, menulis dan berbicara, untuk
mengumpulkan dan memperkaya pengalaman dan kebijaksanaan. Dia menempatkan
manusia di bumi yang didalamnya segala sesuatu selalu patuh, dalam arti di
bawahkan pada tindakan manusia, dan mengalami perubahan sebagai akibat tindakan
itu. Di atas semua itu, Allah secara
langsung menunjukan kehendak-Nya kepada manusia lewat wahyu. Seperti yang telah
Allah turunkan kepada nabi-nabi terdahulu (Ibrahim, Musa, Isa dsb.) Suatu waktu
wahyu itu akan mengalami perubahan sebagai akibat nafsu dan kebodohan manusia,
dan memerlukan kembali rahmat Tuhan. Akhirnya dengan kenabian Muhammad saw. Ia
menetapkan huruf-huruf serta kalimat-kalimat wahyu itu selamanya pasti terjaga,
Wahyu adalah pernyataan seluruh
nilai-nilai kehidupan. Ia mengandung pranata nilai-nilai dan prinsip-prinsip
pengenalan, kedudukannya satu sama lain atau tingkatan-tingkatanya, dan
hubungan deontologisnya terhadap kemanusiaan. Ada beberapa bidang dalam
Al-qur’an yang dibicarakan dan itu harus dipahami kata demi kata, untuk
bidang-bidang tertentu Al-qur’an tidak berbicara apa-apa, hal ini berarti
pembebasan kepada manusia untuk membentuk permufakatan, bersama berubahnya
waktu dan keadaan. Manusia mempunyai kemampuan untuk mengggali potensi diri
dalam memahami Al-qur’an.
Manusia lahir kedunia tanpa dosa.
Islam merancang drama nasib manusia di bumi sesudah ia lahir, bukan sebelumnya.
Tanpa kecuali sipapun orang tuanya, asal-usulnya, paman atau nenek moyangnya.
Dalam Islam tidak ada dosa bawaan yang ditanggungkan kepada manusia. Islam juga
membatasi tanggung jawab manusia hanya atas tindakan yang dilakukan dengan
sadar dan suka rela. Jadi, jika manusia melakukan perbuatan atas dasar paksaan
ataupun melakukannya karena keadaan tidak sadar maka tidak ada tanggung jawab
atas perbuatannya itu.
Tidak ada yang lebih jauh dari kebenaran dari pada
pernyataan bahwa penyelamatan manusia adalah fait accompli, dilakukan secara sekaligus lewat kejadian
penjelmaan-penyaliban-kebangkitan,sebagaimana pernyataan kaum savioris Kristen.
Saviorisme ontologis berdasar teori yang didalamnya manusia kehilangan
kebahagiaan azali dan mendepatkannya kembali lewat peristiwa penyelamatan ilahi
sebagaimana dinyatakan dogma Kristen. Mereka yang telah diselamatkan.
Pernyataan semacam ini justru merampas makna pencapaian karir manusia di bumi
karena semua cita telah diraih dan semua yang harus dikerjakan, telah selesai.
Ini bertentangan dengan Islam yang
melihat karir manusia, yang merancang nasib setiap manusia setelah kelahiranya,
bukan sebelumnya. Kewajiban manusia di bumi adalah mengabdi kepada Allah,
mengabdi di dalam rumah-Nya (bumi)- suatu ungkapan ang pernah diucapkan oleh
orang Mesopotamia kuno.
Islam
memandang nilai etika bukan sebagai sesuatu yang netral atau bertentangan
dengan proses kehidupan di bumi, melainkan malah sebagai penegasan dan
peningkatannya di bawah hokum moral.
0 comments: